Keberagaman Kekuatan Indonesia Dengan Saling Bergandengan, Memaknai Keberagaman Itu Hadiah Terindah Untuk NKRI / sumber: dokpri |
“Keberagaman dan Perbedaan adalah kekuatan bangsa Indonesia. Maka sudah
kewajiban kita untuk saling menghargai keberagaman dan perbedaan ini”.
Begitulah kira-kira pesan dari para Bapak Pendiri Bangsa Indonesia kepada kita
anak-cucunya.
Ya, tidak dapat disangkal lagi sejarah membuktikan bagaimana lemahnya
bangsa kita ketika dapat diperdaya oleh penjajah dengan menggunakan strategi
politik memecah belah atau devide et
impera dengan cara mengadu domba antar kita dengan menggunakan isu
perbedaan agama, budaya, suku, dan warna kulit.
Para penjajah tau betul kita adalah bangsa yang beragam dan sangat
sensitif apabila suku kita dianggap lebih rendah derajatnya dari suku lain, pun
dengan isu agama di mainkan, maka terjadilah perpecahan yang mengakibatkan
bangsa kita jatuh ke tangan penjajah dengan mudahnya oleh karena politik pecah
belah tersebut.
Menyadari akan hal keberagaman bisa menjadi senjata sensifitas yang
mematikan, maka Bapak-Bapak Pendiri Bangsa Indonesia – the Founding Father’s – membuat
terobosan untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa dengan menyatukan
keberagaman itu dalam sebuah pita dicengkram oleh kuku-kuku kokoh sepasang kaki
Burung Garuda bertuliskan “Bhinneka Tunggal Ika”.
Makna dari kata Bhinneka Tunggal Ika yang tertera didalam lambang negara
itu memberikan tersirat dan tersurat, bahwa Bangsa Indonesia menghargai akan kemajemukan, tetapi kemajemukan itu
bukanlah ancaman, tetapi dijadikan sarana mempersatukan dengan tetap menghargai
kemajemukan bangsa. Inilah kuatnya isting para pendahulu dan pahlawan
bangsa Indonesia untuk mempertahankan negara ini yang didasari oleh keyakinan
bahwa perbedaan dan kemajemukan itu adalah anugerah dari Yang Maha Kuasa untuk
tetap dipertahankan oleh generasi penerus hingga kini.
Namun, sekarang menghargai dan saling toleransi akan kemajemukan dan
perbedaan itu sudah terasa sangat menipis dan susah untuk dipraktekkan dalam
kehidupan sehari-hari. Kita lihat jurang pemisah perbedaan itu sudah mulai meluas,
jika dulu hanya setipis sangge-sangge, sekarang mari kita lihat, mari kita buka
mata lebar-lebar sudah melebar menjadi sebuah pembeda yang kentara antara
pemeluk agama mayoritas dengan minoritas.
Kedamaian Akan Terwujud apabila kita saling toleransi dan menghargai keberagaman di Negara Kita. sumber: dokpri |
Kembali kita harus mengakui bahwa di era kekinian, kita menjadi lupa
bahwa keberagaman itu adalah suatu pemersatu bangsa. Pemerintah harus bisa
datang dan hadir untuk kembali menyatukan dan menjadikan bahwa keberagaman itu
bukanlah sekat dan jurang pemisah antara sesama manusia ciptaan Tuhan.
Pilih Calon Presiden yang
Menghargai Keberagaman
Isu keberagaman bukanlah hal yang mengejutkan untuk dimunculkan ke
permukaan dan untuk dimasukkan dalam materi debat capres dan cawapres 2019,
karena hal ini sudah sangat krusial dan perlu kita tahu bagaimana sikap dan
tindakan para capres maupun cawapres dalam menyikapi isu keberagaman jika
menjadi presiden maupun wakil presiden Indonesia di masa yang akan datang.
Sebab fakta membuktikan bahwa empat tahun belakangan ini, ada dikotomi
dan ada sekat yang membuat para minoritas terbelenggu hanya untuk menjalankan
ibadah mereka dengan aman, tanpa kecaman, ancaman dan tanpa rasa takut.
Indahnya Perbedaan dan Keberagaman itu, Mari Kita Pupuk dan Jaga Demi Kedamaian dan Persatuan serta Kesatuan Indonesia. sumber: dokpri |
Jika dulu, kebebasan beragama sangat benar-benar dijalankan sesuai dengan
Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945, yang menyebutkan bahwa “Negara menjamin
kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk
beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”.
Tetapi semenjak keluarnya SKB 2 Menteri tentang pendirian rumah ibadah
pada tahun 2006 di era pemerintahan SBY, banyak perubahan dan kecaman karena
masalah rumah ibadah harus mendapatkan izin dengan birokrasi yang bertele-tele.
Banyak kasus terjadi dimana sekelompok orang ingin beribadah di rumah ibadah
mereka, dihalang-halangi, tidak diizinkan dengan alasan rumah ibadah yang sudah
di dirikan tidak mendapat izin dengan alasan yang bermacam-macam.
Contoh kasus nyata, apa yang dialami oleh jemaat Gereja Batak Karo
Protestan (GBKP) Pasar Minggu, Jakarta Selatan yang tidak bisa melaksanakan
ibadah dengan aman, nyaman dan khusuk, lantaran keberadaan gereja mereka di RT
014 RW 04 Kelurahan Tanjung Barat, Jagakarsa, Jakarta Selatan ditolak oleh
sekelompok masyarakat.
Tanggal 27 September 2016, gereja GBKP Pasar Minggu disegel dan warga menolak
di ditempat tersebut dilaksanakan ibadah. Spanduk penolakan gereja dan larangan
beribadah dipasang di pagar depan gereja. Warga menilai, GBKP tidak memiliki
Izin Mendirikan Bangunan (IMB) untuk tempat ibadah, melainkan hanya IMB untuk
rukan (rumah kantor), hingga akhirnya tanggal 30 September 2016 Wali Kota
Jakarta Selatan, Tri Kurniadi memberikan surat imbauan untuk menghentikan
kegiatan ibadah di GBKP Pasar Minggu.
Padahal gereja tersebut sudah berdiri sejak 24 September 1995 semasa
pemerintahan masih era orde baru, namun jemaat GBKP sejak penolakan itu hingga
sekarang harus melaksanakan ibadah di kantor Kecamatan Pasar Minggu, tepatnya
di ruang serba guna lantai empat. Disitu para jemaat melaksanakan ibadah tanpa
ada protes dari kelompok masyarakat. Namun, Mereka tidak tahu sampai kapan
mereka bisa beribadah di gereja mereka sendiri. Mereka beribadah di Kantor
Kecamatan Pasar Minggu sampai pengurusan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) rumah
ibadah selesai.
Semoga Pemerintah Sekarang Mampu Menghapus Aturan-Aturan yang Menghambat Saling Toleran dan Saling Menghargai Keberagaman Yang dimanfaatkan oleh Sekelompok Orang yang Intoleran. sumber: tirto |
Para Jemaat berharap, pengurusan IMB tidak rumit dan berlarut-larut
sehingga menimbulkan ketidakpastian bagi mereka. Jika gereja mereka harus
direlokasi, lokasi yang diberikan tidak menimbulkan masalah yang sama pada masa
mendatang. Para jemaat GBKP hanya ingin melaksanakan ibadah dengan khusuk dan
tenang itu saja.
Sejak tahun 1990-an hingga munculnya SKB 2 Menteri tentang pendirian
rumah ibadah tahun 2006, sangat jarang kita dengar adanya protes dari warga
lain masalah kebebasan beribadah oleh kaum minoritas. Namun, setelah munculnya
SKB 2 menteri itu, rasanya sangat berat sekali mengurus izin beribadah dan izin
mendirikan rumah ibadah. Dan ini sudah pernah ditentang oleh seorang Ahok di
tahun 2015, ketika Gereja Kristen Protestan Indonesia (GKPI) Jatinegara,
Jakarta Timur dibongkar karena alasan yang sama.
Maka Ahok sudah mengajukan protes agar Surat Keputusan Bersama (SKB) 2
menteri tentang pendirian rumah ibadah agar dicabut, karena tidak sesuai dengan
Undang-Undang Dasar 1945, terutama pasal 28 dan pasal 29, dimana seharusnya
Negara hadir untuk mengatur dan menjamin kebebasan tiap-tiap warga negara untuk
memeluk agama dan beribadah sesuai dengan agama dan kepercayaan yang dianutnya.
Sudah lima tahun pemerintahan Jokowi-JK hadir dan menjadi pemimpin di
negeri ini, tetapi menurut catatan saya tidak hanya dua kasus – GBKP Pasar
Minggu dan GKPI Jatinegara – masih ada kasus lain, sejumlah 32 gereja harus
terpaksa ditutup karena provokasi dan izin. Sebahagian besar pelaku penutupan
dilakukan oleh pemerintah daerah.
Miris bukan? Lantas apa upaya pemerintah yang sangat mengusung
“Kebhinnekaan” untuk mengatasi masalah keberagaman dan menyatukannya dalam
bingkai kebhinnekaan? Yang paling parah tentunya masalah GKI Yasmin (sejak
tahun 2008) dan HKBP Filadelfia (tahun 2008 juga) tak kunjung beres.
Sudah 189 kali para jemaat kedua gereja menggelar kebaktian di depan
istana negara, tapi tidak kunjung dapat diselesaikan oleh pemerintahan Jokowi –
JK.
Belum lagi jemaat Ahmadiyah Indonesia yang dipersulit untuk mendapatkan
izin mendirikan mesjid dan beribadah dengan tenang. Selama lima tahun, ada lima
mesjid Ahmadiyah ditutup, belum termasuk persekusi dan pengusiran di Lombok.
Siapakah Capres Memperhatikan
Minoritas?
Dari dua kubu memang tidak terlalu membawa isu keberagaman dalam
kampanyenya, tetapi Jokowi sedari tahun 2014 telah membawa isu keberagaman
dalam kebhinnekaan dalam program Nawa Cita miliknya.
Namun seiring waktu, ternyata pak Jokowi belum berbuat banyak dalam
melindungi minoritas. Contohnya SKB 2 menteri yang kerap menjadi batu
sandungan, ternyata tidak disentuh oleh beliau.
Padahal dia sebagai presiden punya kuasa untuk memerintahkan menterinya
mencabut peraturan bermasalah tersebut.
Dan salah satu dari direktur tim pemenangan Jokowi – Ma’aruf Amin,
mengatakan masalah penutupan rumah ibadah sesungguhnya menjadi salah satu
perhatian Jokowi. Mereka menyadari senjata kelompok intoleran yang memprovokasi
penutupan gereja dan rumah ibadah selalu bersembunyi di balik perizinan.
Periode kedua, akan diperbaiki, akan diselaraskan semua aturan-aturan
dari pemerintah pusat hingga daerah, sehingga tidak ada lagi celah untuk
melakukan aksi-aksi intoleran karena adanya aturan yang mendukung. Itulah janji
kampanye untuk periode kedua ini.
Menurut data http://www.iklancapres.id/iklan/socmed/detailiklan/2/30/1/keberagaman-agama-dan-keyakinan menyatakan bahwa sangat banyak kegiatan-kegiatan dan ajakan-ajakan untuk menghargai keberagaman di Indonesia.
Menurut data http://www.iklancapres.id/iklan/socmed/detailiklan/2/30/1/keberagaman-agama-dan-keyakinan menyatakan bahwa sangat banyak kegiatan-kegiatan dan ajakan-ajakan untuk menghargai keberagaman di Indonesia.
Intinya, semoga isu keberagaman mendapatkan tempat dan dapat diselesaikan
dengan baik demi NKRI yang utuh dan maju. Semoga!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar