Senin, 24 April 2017

Semangat Berkarya Ala Kartini Muda Transmart Carrefour Citra Garden



Anak-Anak Selfie dulu sebelum masuk Carrefour Citra Garden

Setiap tanggal 21 April, kita selalu memperingati hari Kartini yang sudah melegenda di republik ini. Siapa sih ibu kita Kartini itu? Mengapa sampai-sampai nama Raden Ajeng Kartini dianggap berjasa hingga diberi label Pahlawan Nasional perempuan yang wajib diperingati setiap tanggal 21 April? Mari kita tidak melupakan sejarah. Terlepas dari kontroversinya, Raden Ajeng Kartini memang layak dan pantas menyandang status Pahlawan Nasional, walau secara langsung tidak pernah angkat senjata berjuang mengusir penjajah dari Republik ini, namun setidaknya perjuangan beliau dari balik pena dan kertas serta pemikiran-pemikiran beliau pantas memang untuk mendapatkan hak tersebut untuk disejajarkan dengan sosok-sosok pahlawan lainnya yang menginspirasi kaum muda, khususnya kaum hawa untuk sejajar dengan kaum adam.
Raden Ajeng Kartini lahir di Jepara, Jawa Tengah tanggal 21 Agustus 1879 dari kalangan ningrat. Lalu beliau mendapatkan pendidikan di sekolah ELS (Europese Lagere School), sekolah khusus untuk anak-anak keturunan Belanda, Eropa, peranakan Belanda dan juga anak-anak bangsawan bumi putera. Singkat cerita, usia 16 tahun beliau berhasil menuliskan sebuah artikel berjudul Het Huwelijk bij de Kodja (Perkawinan itu di Kota) yang berisikan bagaimana waktu itu fenomena perempuan yang dijadikan sebagai kaum yang tidak boleh berkembang, dikungkung hak dan kewajibannya yang tidak boleh sejajar dengan lelaki, bagaimana perempuan diberlakukan hanya sebagai ‘pelayan laki-laki’. Singkat cerita perjuangan beliau dengan gagasan “emansipasi wanita”, dimana sudah saatnya kaum perempuan memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan lelaki, khususnya dalam hal mendapatkan pendidikan mendapat apresiasi yang tinggi, sehingga kaum hawa tersadarkan lewat buku yang diterbitkan oleh temannya di Belanda, Mr. J.H Abendanon yang kala itu menjabat Menteri Kebudayaan, Agama dan Kerajinan Hindia Belanda mengumpulkan surat-surat yang pernah beliau kirim dan membukukannya dengan judul “Dari Kegelapan Menuju Cahaya” (Habis Gelap Terbitlah Terang) yang menginspirasi dan tidak lekang oleh waktu hingga sekarang.

Kamis, 20 April 2017

Kekuatan Kasat Mata Gravitasi Guru Dalam Menciptakan Sumber Daya Manusia Indonesia Yang Berkarakter



Guru adalah kekuatan Gravitasi dalam mencerdaskan sebuah bangsa.

Masih ingatkah cerita bagaimana Jepang bisa bangkit pasca ledakan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki? Bom nuklir berkekuatan antara 15.000 dan 20.000 ton TNT tersebut menewaskan 140.000 orang di Hiroshima dan 80.000 orang di Nagasaki dan  berakibat fatal hingga puluhan tahun kemudian, dimana sejumlah 200.000 orang menyusul tewas mengenaskan karena berbagai macam penyakit akibat radiasi bom nuklir yang maha dasyat dan dampak radioaktifnya mencapai 20 km dari lokasi jatuhnya bom atom tersebut.
Kaisar Hirohito kala itu tidak larut dalam kesedihan, enam hari pasca bom atom dia memerintahkan Menteri Pendidikannya mengumpulkan semua guru yang masih tersisa di negeri yang hancur lebur akibat perang tersebut. Titahnya adalah agar guru melaksanakan fungsinya sebagai ujung tombak pendidikan sehingga lahir sumber daya manusia yang unggul dan berkualitas, karena negara dibangun dari nol. Guru harus lebih disiplin dari murid, sebab disiplin yang tinggi akan melahirkan generasi yang mampu berdaya saing dan unggul dalam segala aspek. Sehingga bak gaya gravitasi yang memikat, maka kita lihat sekarang hasilnya.
Guru TIK di abad 21 harus mampu memainkan peranannya dalam mencerdaskan anak bangsa terutama dibidang teknologi informasi dan komunikasi
Tidak menunggu lama, dari tahun 1945 hingga tahun 1990-an (dalam kurun waktu 45 tahun), Jepang telah muncul sebagai kekuatan baru dalam bidang perekonomian dunia. Berkat pendidikannya yang tepat untuk menciptakan teknologi yang tepat guna dan berdaya guna, Jepang menjelma menjadi negara maju dalam di bidang perekonomian dunia. Secara kasat mata, Jepang telah menjelma menjadi sebuah gravitasi bagi dunia yang harus dipejalari dan tidak salah untuk diikuti. Bagaimana tidak? Guru sebagai ujung tombak pendidikan disana, mampu dijadikan sang kaisar untuk menjadi daya pemikat gravitasi yang menjadikan Jepang bisa seperti sekarang ini.