Tampilkan postingan dengan label Isu Keberagaman. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Isu Keberagaman. Tampilkan semua postingan

Jumat, 22 Februari 2019

Karena Perbedaan yang Menyatukan Bangsa Indonesia, Maka Angkatlah Isu Keberagaman di Debat Capres-Cawapres 2019


Keberagaman Kekuatan Indonesia Dengan Saling Bergandengan, Memaknai Keberagaman Itu Hadiah Terindah Untuk NKRI / sumber: dokpri

“Keberagaman dan Perbedaan adalah kekuatan bangsa Indonesia. Maka sudah kewajiban kita untuk saling menghargai keberagaman dan perbedaan ini”. Begitulah kira-kira pesan dari para Bapak Pendiri Bangsa Indonesia kepada kita anak-cucunya.
Ya, tidak dapat disangkal lagi sejarah membuktikan bagaimana lemahnya bangsa kita ketika dapat diperdaya oleh penjajah dengan menggunakan strategi politik memecah belah atau devide et impera dengan cara mengadu domba antar kita dengan menggunakan isu perbedaan agama, budaya, suku, dan warna kulit.
Para penjajah tau betul kita adalah bangsa yang beragam dan sangat sensitif apabila suku kita dianggap lebih rendah derajatnya dari suku lain, pun dengan isu agama di mainkan, maka terjadilah perpecahan yang mengakibatkan bangsa kita jatuh ke tangan penjajah dengan mudahnya oleh karena politik pecah belah tersebut.
Menyadari akan hal keberagaman bisa menjadi senjata sensifitas yang mematikan, maka Bapak-Bapak Pendiri Bangsa Indonesia – the Founding Father’s – membuat terobosan untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa dengan menyatukan keberagaman itu dalam sebuah pita dicengkram oleh kuku-kuku kokoh sepasang kaki Burung Garuda bertuliskan “Bhinneka Tunggal Ika”.
Makna dari kata Bhinneka Tunggal Ika yang tertera didalam lambang negara itu memberikan tersirat dan tersurat, bahwa Bangsa Indonesia menghargai akan kemajemukan, tetapi kemajemukan itu bukanlah ancaman, tetapi dijadikan sarana mempersatukan dengan tetap menghargai kemajemukan bangsa. Inilah kuatnya isting para pendahulu dan pahlawan bangsa Indonesia untuk mempertahankan negara ini yang didasari oleh keyakinan bahwa perbedaan dan kemajemukan itu adalah anugerah dari Yang Maha Kuasa untuk tetap dipertahankan oleh generasi penerus hingga kini.
Namun, sekarang menghargai dan saling toleransi akan kemajemukan dan perbedaan itu sudah terasa sangat menipis dan susah untuk dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Kita lihat jurang pemisah perbedaan itu sudah mulai meluas, jika dulu hanya setipis sangge-sangge, sekarang mari kita lihat, mari kita buka mata lebar-lebar sudah melebar menjadi sebuah pembeda yang kentara antara pemeluk agama mayoritas dengan minoritas.
Kedamaian Akan Terwujud apabila kita saling toleransi dan menghargai keberagaman di Negara Kita. sumber: dokpri
Kembali kita harus mengakui bahwa di era kekinian, kita menjadi lupa bahwa keberagaman itu adalah suatu pemersatu bangsa. Pemerintah harus bisa datang dan hadir untuk kembali menyatukan dan menjadikan bahwa keberagaman itu bukanlah sekat dan jurang pemisah antara sesama manusia ciptaan Tuhan.
Pilih Calon Presiden yang Menghargai Keberagaman
Isu keberagaman bukanlah hal yang mengejutkan untuk dimunculkan ke permukaan dan untuk dimasukkan dalam materi debat capres dan cawapres 2019, karena hal ini sudah sangat krusial dan perlu kita tahu bagaimana sikap dan tindakan para capres maupun cawapres dalam menyikapi isu keberagaman jika menjadi presiden maupun wakil presiden Indonesia di masa yang akan datang.
Sebab fakta membuktikan bahwa empat tahun belakangan ini, ada dikotomi dan ada sekat yang membuat para minoritas terbelenggu hanya untuk menjalankan ibadah mereka dengan aman, tanpa kecaman, ancaman dan tanpa rasa takut. 
Indahnya Perbedaan dan Keberagaman itu, Mari Kita Pupuk dan Jaga Demi Kedamaian dan Persatuan serta Kesatuan Indonesia. sumber: dokpri
Jika dulu, kebebasan beragama sangat benar-benar dijalankan sesuai dengan Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945, yang menyebutkan bahwa “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”.
Tetapi semenjak keluarnya SKB 2 Menteri tentang pendirian rumah ibadah pada tahun 2006 di era pemerintahan SBY, banyak perubahan dan kecaman karena masalah rumah ibadah harus mendapatkan izin dengan birokrasi yang bertele-tele. Banyak kasus terjadi dimana sekelompok orang ingin beribadah di rumah ibadah mereka, dihalang-halangi, tidak diizinkan dengan alasan rumah ibadah yang sudah di dirikan tidak mendapat izin dengan alasan yang bermacam-macam.
Contoh kasus nyata, apa yang dialami oleh jemaat Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) Pasar Minggu, Jakarta Selatan yang tidak bisa melaksanakan ibadah dengan aman, nyaman dan khusuk, lantaran keberadaan gereja mereka di RT 014 RW 04 Kelurahan Tanjung Barat, Jagakarsa, Jakarta Selatan ditolak oleh sekelompok masyarakat.
Tanggal 27 September 2016, gereja GBKP Pasar Minggu disegel dan warga menolak di ditempat tersebut dilaksanakan ibadah. Spanduk penolakan gereja dan larangan beribadah dipasang di pagar depan gereja. Warga menilai, GBKP tidak memiliki Izin Mendirikan Bangunan (IMB) untuk tempat ibadah, melainkan hanya IMB untuk rukan (rumah kantor), hingga akhirnya tanggal 30 September 2016 Wali Kota Jakarta Selatan, Tri Kurniadi memberikan surat imbauan untuk menghentikan kegiatan ibadah di GBKP Pasar Minggu.
Padahal gereja tersebut sudah berdiri sejak 24 September 1995 semasa pemerintahan masih era orde baru, namun jemaat GBKP sejak penolakan itu hingga sekarang harus melaksanakan ibadah di kantor Kecamatan Pasar Minggu, tepatnya di ruang serba guna lantai empat. Disitu para jemaat melaksanakan ibadah tanpa ada protes dari kelompok masyarakat. Namun, Mereka tidak tahu sampai kapan mereka bisa beribadah di gereja mereka sendiri. Mereka beribadah di Kantor Kecamatan Pasar Minggu sampai pengurusan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) rumah ibadah selesai.
Semoga Pemerintah Sekarang Mampu Menghapus Aturan-Aturan yang Menghambat Saling Toleran dan Saling Menghargai Keberagaman Yang dimanfaatkan oleh Sekelompok Orang yang Intoleran. sumber: tirto
Para Jemaat berharap, pengurusan IMB tidak rumit dan berlarut-larut sehingga menimbulkan ketidakpastian bagi mereka. Jika gereja mereka harus direlokasi, lokasi yang diberikan tidak menimbulkan masalah yang sama pada masa mendatang. Para jemaat GBKP hanya ingin melaksanakan ibadah dengan khusuk dan tenang itu saja.