I.
Pendahuluan
Korupsi, penyakit kronis yang sudah menggerogoti setiap sendi kehidupan
bermasyarakat di Indonesia. Tidak ada kata kecuali, seluruh lapisan masyarakat
merasakan bagaimana dasyatnya penyakit ini menularkan virusnya dan menjadi momok menakutkan yang sampai sekarang belum
ada formula yang tepat untuk mengentaskan penyakit kronis yang satu ini. Yang
paling menyedihkan, KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) seakan-akan bekerja
sendirian tanpa dukungan penuh dari Kepolisian dan Kejaksaan, harus merasakan
tekanan dari berbagai pihak, tidak terkecuali dari Anggota-Anggota DPR yang
notabene adalah wakil-wakil rakyat yang bekerja di Parlemen untuk
mensejahterakan kurang lebih dua ratus empat puluh jiwa Rakya Indonesia dari
Sabang hingga Merauke.
KPK, adalah lembaga independen, bebas dari kekuasaan manapun dalam
melaksanakan tugas Pemberantasan korupsi yang telah berakar kuat ditengah
masyarakat Indonesia, berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30
Tahun 2002, KPK ada untuk melakukan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TPK)
yang faktanya banyak dilakukan oleh oknum-oknum pejabat hingga pegawai rendahan
yan bekerja di Lembaga-Lembaga Pemerintahan, baik itu pusat maupun daerah yang
dilaksanakan secara masif, terstruktur, dan sistematis. Bahkan bisa di buatkan
dalam bahasa konotasi yang lebih simpel, korupsi
berjamaah.
Walau KPK sudah ada, kasus korupsi bukannya berkurang, malah makin
merajalela. Masih segar di ingatan kita, bagaimana kronologis panjang seorang
Gubernur Sumut Gatot Pujo Nugroho bersama dengan istri mudanya, serta seorang
pengacara kondang OC Kaligis menjadi pesakitan karena kasus korupsi dana
Bansos. Kasus ini menggelinding bagaikan bola salju yang menyeret banyak nama
kedalam pusaran kasus korupsi terbesar di tahun 2015 ini.
Atas dasar dan fakta bahwa korupsi sudah menjadi kebiasaan, maka KPK menggunakan
berbagai cara dan pola untuk menghentikan dan menyadarkan semua lapisan
masyarakat akan bahaya korupsi. Seperti tertera dalam Pasal 30 Ayat 1
Undang-Undang Dasar 1945, “Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut
serta dalam usaha pertahanan dan keamanan Negara” yang artinya bahwa
jika kasus korupsi adalah kejahatan yang dapat merongrong persatuan dan
kesatuan, maka sudah wajib hukumnya apabila seluruh lapisan masyarakat bahu
membahu untuk memberantas penyakit korupsi.
II. Upaya Mencegah Korupsi Di Lingkungan
Sekolah
Untuk itulah, maka saya terdorong untuk ikut berperan serta dalam upaya
dan usaha pencegahan perilaku atau tindakan korupsi di rumah, sekolah,
lingkungan sekitar, khususnya di tengah-tengah masyarakat dengan menyumbangkan
karya tulis peran yang sudah dan yang akan saya lakukan dalam upaya mencegah
korupsi. Seperti pepatah mengatakan “Mencegah Lebih Baik Daripada Mengobati”,
demikian juga untuk penyakit korupsi agar penyakit ini tidak menular lebih
luas, sudah seharusnya Guru dan Orang Tua berperan lebih aktif dengan
memberikan Pendidikan Anti Korupsi sejak dini di dalam keluarga. Sikap dan
sifat-sifat yang menghindari diri dan keluarga dari perilaku korupsi sudah
harus ditanamkan sejak dini di keluarga.
Salah satu kunci kesuksesan KPK dalam menjalankan tugas Pencegahan
Perilaku Korupsi para pejabat adalah dengan melakukan Operasi Tangkap Tangan
(OTT) hasil dari Penyadapan Pembicaraan Lewat Telepon Seluler yang ditentang
oleh banyak kalangan, termasuk oleh DPR. Namun saya sangat setuju dengan
Penyadapan menggunakan perangkat Teknologi Informasi dan Komunikasi (IT), dan
kalau bisa diperluas jaringan penyadapannya dan area kerjanya. Sehingga KPK
dapat melaksanakan tugas pokok dan fungsinya, yaitu: Melakukan
Tindakan-Tindakan Pencegahan Tindak Pidana Korupsi, dan Melakukan Monitor
Terhadap Penyelenggaraan Pemerintahan Negara dengan memanfaatkan Perangkat
Teknologi Canggih untuk memonitor jalannya pemerintahan dan meminimalisir
canggihnya perilaku korupsi berjamaah.
Menurut saya, dan yang telah saya praktekkan bahwa korupsi dapat kita berangus
dengan banyak cara. Kita bisa mengambil bagian dalam upaya mencegah korupsi,
sehingga korupsi bukan lagi perilaku yang dihalalkan, tetapi diharamkan,
seperti yang telah saya terapkan di rumah :
1. Karena
saya seorang Pegawai Negeri Sipil (guru), saya mencoba berbagi yang
seadil-adilnya dengan istri saya yang hanya sebagai Ibu Rumah Tangga yang
bertugas untuk mengurus anak-anak. Gaji PNS saya saya bagi dua dengan adil,
dimana setengah untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, dan setengah lagi untuk
ditabung agar dapat mewujudkan membeli rumah yang layak untuk masa depan.
Terkadang, dengan gaji pas-pasan bingung, tetapi pelajaran untuk hidup
sederhana yang kami dapatkan semenjak kecil sudah membiasakan kami untuk tetap
tabah tanpa berpikir untuk korupsi.
2. Mencukupkan
diri dengan rezeki yang didapat, tidak mengambil hak orang lain adalah perilaku
yang harus kita tanamkan dalam diri dan dipraktekkan dalam kehidupan
sehari-hari. Menyunat (memotong) yang seharusnya hak milik orang lain, bahkan
sama sekali tidak memberikan apa yang menjadi hak orang lain, Ajaran Agama manapun
pastilah mengharamkan sikap seperti itu, oleh karena itu di sekolah sikap
seperti itu tidaklah bagus untuk diterapkan. Contoh sederhana yang saya
lakukan, adalah memberikan hak para siswa di sekolah, misalnya: ketika Ekskul
Sepakbola bertanding, saya selaku pembina Ekskul tersebut membawa peserta didik
saya untuk bertanding dengan sekolah lain dalam ajang resmi yang
diselenggarakan oleh Dispora Kota Medan. Anak-anak kita bawa bertanding,
otomatis kan ada uang transport atau uang minum untuk para pemain saat
bertanding sesuai dengan proposal yang telah disetujui dari dana BOS ataupun
Komite. Nah, saya sebagai Pembina Ekskul, haruslah memberikan apa yang menjadi
hak pemain, tanpa harus memotongnya sepeserpun. Ini adalah contoh pendidikan
karakter yang sederhana bagi peserta didik.
3. Melaksanakan
Tugas Pokok dan Fungsi yang telah diberikan dengan sepenuh hati, tanpa banyak
menuntut atau menggunakan perhitungan materi, artinya tidak selamanya pekerjaan
itu diukur dengan uang. Saya sebagai Guru TIK di sekolah, sudah semaksimal
mungkin untuk membantu memecahkan masalah guru dalam mengoperasikan
perangkat-perangkat Teknologi Informasi dan Komunikasi dengan sebaik mungkin
tanpa harus meminta imbalan, misalnya: Menginstall Laptop Guru yang kena virus,
mengetik soal-soal ataupun Perangkat Pembelajaran Guru tanpa harus menyebutkan
angka-angka atau biaya pembuatan, tetapi iklas memberi, dan iklas menerima.
Berusaha untuk tepat waktu dalam mengajar, tidak terlambat, memberikan tugas
yang tidak membutuhkan biaya yang banyak (disesuaikan dengan kondisi peserta
didik), selalu mendisiplinkan diri, lalu peserta didik, jikapun terpaksa harus
keras menerapkan peraturan dan tata tertib kepada peserta didik.
4. Mendukung
sikap Transparansi (Keterbukaan) penggunaan dan penyaluran dana BOS maupun dana
Komite Sekolah yang dikutip dari anak-anak, sehingga dana itu tidak rentan
untuk dikorupsi. Sangat disayangkan bahwa dana-dana sekolah terkadang tidak
transparan penggunaannya, saran saya buat KPK agar membuat sebuah model atau
program yang dapat mengaudit atau melihat penyaluran dana-dana BOS maupun
Komite, karena terkadang apa yang menjadi hak guru dari dana Komite rentan
untuk disalah gunakan.
III.
Upaya
Mencegah Korupsi Dari Sekolah
Dalam Pelatihan Teacher SuperCamp
Guru Menulis Anti Korupsi yang diselenggarakan oleh KPK, saya pernah memberikan
pendapat agar pencegahan sikap korupsi dapat diaplikasikan dari dunia
pendidikan, yaitu :
1. Mendesain
sebuah Pembelajaran Antikorupsi dengan metode atau model Pembelajaran
Kontekstual / Contextual Teaching and Learning (CTL), yaitu suatu model
Pembelajaran Antikorupsi yan holistik (menyentuh seluruh aspek
kebutuhan pendidikan anak), dan bertujuan memotivasi peserta didik untuk
memahami makna materi Pembelajaran tentang Antikorupsi dengan mengaitkan /
menghubungkan materi pelajaran tentang Antikorupsi yang dia terima dengan
konteks kehidupan mereka sehari-hari (konteks pribadi,
sosial, dan kultural)
sehingga peserta didik memiliki pengetahuan/keterampilan (life-skill)
yang secara fleksibel dapat
diterapkan (ditransfer) dari
satu permasalahan/konteks ke
permasalahan/konteks lainnya, khususnya tentang masalah yang berhubungan dengan
korupsi. Pembelajaran Kontekstual merupakan suatu konsep belajar dimana guru
menghadirkan situasi nyata tentang akar permasalahan, penyebab korupsi,
jenis-jenis penyakit ini, hingga contoh-contoh masalah korupsi yang terjadi di
tengah-tengah masyarakat, kedalam kelas dan mendorong peserta didik untuk membuat
hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya agar tidak menerapkan perbuatan
korupsi lagi ditengah-tengah keluarga maupun masyarakat, sehingga perilaku
Antikorupsi dapat menjadi proses pembelajaran yang dibangun lebih alamiah dari
kesadaran sendiri untuk keluarga, masyarakat, hingga Tanah Air Indonesia yang
lebih baik tanpa korupsi.
2. Hendaknya
Pendidikan Antikorupsi dikembangkan di sekolah-sekolah dengan membuat format
Ekstrakurikuler KPK (Komunitas Pemberantas Korupsi).
Format Ekskul KPK dengan nama Komunitas Pemberantas / Pemberangus Korupsi
ini dibuat seperti model Ekskul Pramuka, atau ekskul lainnya, dan wajib
hukumnya dilaksanakan disetiap-setiap sekolah mulai dari jenjang SD, SMP,
SMA/SMK/MA, dengan output atau goalnya, peserta didik lebih paham apa itu
Pendidikan Antikorupsi, bagaimana cara menangkal menyebarnya penyakit kronis
bernama korupsi ini, hingga dapat mencegah terjadinya korupsi berjamaah,
korupsi balas dendam, korupsi karena ikut-ikutan, dan jenis korupsi lainnya.
Karena, pendidikan karakter yang baik yang diterapkan dirumah dan di
sekolah dipercaya akan menumbuh kembangkan sikap anti korupsi bagi peserta
didik yang dapat dibawa hingga kelak saat menjadi pemimpin negeri ini.
Sikap konsekuen dari orang tua dalam mendisiplinkan anaknya, sangat
diperlukan untuk menghasilkan generasi yang displin dan berkarakter tidak
korupsi. Orang tua tentu tidak ingin anaknya untuk bersikap tidak jujur,
berbohong, maka orang tua harus menunjukkan hal yang sama sebagai contoh kepada
anak. Jangan sebaliknya, orang tua menginginkan hal tersebut tetapi
sikap/tingkah laku yang dilihat anak terhadap orang tua tidak sesuai dengan apa
yang diajarkannya. Hal di atas sejalan dengan 18 teori membesarkan anak secara
bijaksana seperti yang disampaikan oleh Dorothy Law Noite yang isinya sebagai
berikut:
ü
Jika anak dibesarkan dengan celaan, ia belajar
memaki.
ü
Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, ia
belajar berkelahi.
ü
Jika anak dibesarkan dengan ketakutan, ia
belajar gelisah.
ü
Jika anak dibesarkan dengan rasa iba, ia belajar
menyesali diri.
ü
Jika anak dibesarkan dengan olok-olok, ia
belajar rendah diri.
ü
Jika anak dibesarkan dengan iri hati, ia belajar
kedengkian.
ü
Jika anak dibesarkan dengan dipermalukan, ia
belajar merasa bersalah.
ü
Jika anak dibesarkan dengan dorongan, ia belajar
percaya diri.
ü
Jika anak dibesarkan dengan toleransi, ia
belajar menahan diri.
ü
Jika anak dibesarkan dengan pujian, ia belajar
menghargai.
ü
Jika anak dibesarkan dengan penerimaan, ia
belajar mencintai.
ü
Jika anak dibesarkan dengan dukungan, ia belajar
menyenangi diri.
ü
Jika anak dibesarkan dengan pengakuan, ia
belajar mengenali tujuan.
ü
Jika anak dibesarkan dengan rasa berbagi, ia
belajar dermawan.
ü
Jika anak dibesarkan dengan kejujuran dan
keterbukaan, ia belajar kebenaran dan keadilan.
ü
Jika anak dibesarkan dengan rasa aman, ia
belajar menaruh kepercayaan
ü
Jika anak dibesarkan dengan persahabatan, ia
belajar menemukan cinta dalam kehidupan.
ü
Jika anak dibesarkan dengan ketentraman, ia
belajar berdamai dengan pikiran.
Nah, belum terlambat untuk mencegah sikap korupsi, karena tidak ada kata
terlambat untuk berbuat suatu kebaikan demi negeri yang kita cintai ini. Mari
kita cegah perilaku korupsi dengan membenahi sikap-sikap dan perilaku kita di
rumah, sekolah, lingkungan sekitar untuk negara Indonesia Bebas dari Korupsi,
bukan bebas untuk Korupsi. Pemahaman dengan mengatakan dan mengajarkan “Tidak”
dan “STOP”
pada Korupsi, tidak gampang tergoda untuk korupsi berjamaah, harus dipelihara
sejak dini untuk Indonesia yang lebih baik.
IV.
Penutup
Revolusi Mental adalah semangat
memberantas korupsi dan itu hanya mungkin terwujud, apabila dimulai dari dalam
diri kita untuk melakukan semangat Revolusi
tanpa melihat orang lain. Perilaku sadar yang diikuti oleh aksi nyata. Pertama, aksi nyata tingkat pribadi. Kedua, aksi nyata tingkat keluarga. Dan,
ketiga, aksi nyata tingkat masyarakat
akan pasti dapat menghentikan perilaku korupsi yang sudah menggurita, khususnya
korupsi berjamaah yang sudah menjadi kebiasaan. Bersih-bersih dari diri sendiri
di rumah, sekolah, lingkungan masyarakat adalah inti dari Semangat Revolusi
Mental yang dimaksud oleh Pak Jokowi. Wujud nyata saya Mencegah
Korupsi adalah, Semangat Jujur dan Semangat
Cegah Korupsi.
Medan, 13
Desember 2015
Karya Tulis ini
dibuat untuk mengikuti Lomba Karya Tulis Dalam Rangka Memperingati Hari Anti
Korupsi Internasional Tahun 2015
Hormat saya,
Penulis,
Agus Oloan Naibaho, S. Kom
Tidak ada komentar:
Posting Komentar