Ulos, Karya Kearifan Lokal yang mesti dilestarikan dan dikembangkan dengan Teknologi Modern |
I.
Pengantar
Ulos?
Masih adakah warga Negara di Negeri ini yang tidak mengenal Ulos? Darimanakah
asal penghasil Ulos? Bagaimanakah sejarah Ulos dan cara membuat Ulos? Mengapa
Ulos perlu dilestarikan sebagai sumber kekayaan Budaya Indonesia? Tulisan ini
akan menjawab semua pertanyaan-pertanyaan dan memberikan pencerahan bagi
masyarakat Indonesia betapa pentingnya peranan Ulos bagi masyarakat Indonesia
pada umumnya, dan bagi orang Batak khususnya. Ulos adalah kain tenun khas Batak
berbentuk selendang yang memiliki sejuta makna dan merupakan warisan
turun-temurun yang harus dilestarikan sebagai salah satu budaya khas Batak yang
sudah mendunia dan sedang diperjuangkan menjadi salah satu ikon budaya
Indonesia setelah kain Batik.
Ulos
merupakan benda sakral yang menjadi simbol restu, kasih sayang, dan persatuan
yang disematkan oleh orang-orang yang kita kasihi dalam sebuah pesta atau
pertemuan bertemakan Adat, baik itu pesta Perkawinan (Pernikahan), Peresmian
Tugu, Saur Matua (Meninggal usia Tua), Sari Matua (Meninggal di usia muda), dan
banyak lagi jenis Pesta Adat di Masyarakat Batak. Ulos adalah singkatan dari
kata “Unang Lupa, Oloi Sipaingot” yang artinya seperti ini “Jangan Lupa Untuk
Mematuhi Segala Nasehat Orang Tua”. Ulos inilah sebagai pengikat dan pengingat
terhadap keluarga-keluarga yang memang dikenal memiliki silsilah atau tarombo.
Dengan Ulos ini diharapkan hubungan kita semakin erat kini hingga
keturunan-keturunan kita.
II.
Legenda
Asal Mula Ulos Batak
Menurut
legenda, Ulos erat kaitannya dengan kisah terjadinya bumi dan asal-usul jenis
manusia (kosmogoni) menurut versi
cerita rakyat (dongeng) masyarakat
Batak. Mitos itu adalah torsa (kisah)
yang menceritakan bagaimana asal muasal adanya bumi dengan lautan dan
daratannya, beserta dengan isinya yang diciptakan oleh Ompu Mula Jadi Na Bolon
(Sang Pencinta). Begini ringkasan ceritanya : Pada zaman dahulu kala, di langit
(negeri kayangan) tersebutlah seorang puteri yang cantik jelita bernama Si Boru
Deak Parujar atau Deak Parujar yang merupakan puteri tunggal Batara Guru (aspek
pertama dari Mula Jadi Na Bolon), sang pencipta yang disebut kala itu sebagai
wujud Trimurti, atau Tri Tunggal, yaitu (Dewa) Batara Guru, (Dewa) Soripada,
dan (Dewa) Mangalabulan.
Di
negeri Kayangan (Kerajaan Langit), putri Deak Parujar dikenal sebagai ahli
tenun, sehingga juga dikenal sebagai puteri Partonan Na Utusan (Maha Ahli
Tenun). Setelah dewasa ia di calonkan menjadi isteri putra dari Mangalabulan
(aspek lain dari Trimurti). Namun, karena rupa laki-laki yang dicalonkan itu
sangat jelek, maka puteri Deak Parujar menolak mentah-mentah dan karena
penolakan tersebut, maka sang puteri memutuskan untuk keluar dari langit.
Jagad
raya terdiri dari tiga lapis, yaitu Langit, tempat putri Deak Parujar, disebut
juga dengan Banua Ginjang (Benua
Atas). Di bawahnya, adalah Banua Tonga
(Benua Tengah), dan terakhir Banua Tonga
(Benua Bawah). Kedua benua terakhir masih menjadi misteri bagi putrid Deak
Parujar. Jika harus keluar meninggalkan Langit, berarti putri Deak Parujar
harus berusaha turun ke Banua Tonga. Bagaimanakah caranya? Maka Ia punya akal.
Saat akan turun ke bawah, dia melemparkan turak berisi gelondongan benang ke
bawah. Benangnya terus menjulur menggantung di ruang gelap gulita.
Putri
Deak Parujar lalu meluncurkan diri ke bawah, bergantung pada benang. Setelah
beberapa lama meluncur turun dalam kegelapan, akhirnya kaki putri Deak Parujar
terantuk pada turak, yang ternyata terombang-ambing di atas permukaan air yang
berkelocak dasyat ditimpa badai dan gelombang besar. Putri Deak Parujar yang
ketakutan, sejenak berniat kembali pulang ke Langit, tapi Ia sudah membulatkan
tekad tetap bertahan dan tidak akan pulang. Singkat cerita, putri Deak Parujar memohon
petunjuk kepada ayahnya Mula Jadi Na Bolon, dan ayahnya memberikan sekepal
tanah liat kepada putrinya dengan petunjuk, “Bentuklah tanah liat ini menjadi
landasan tempatmu berpijak di atas samudera”. Setelah putri Deak Parujar
menempa sebidang pijakan dari sekepal tanah liat itu, yang lama kelamaan
semakin luas dan membentuk daratan.
Tanah
pijakan putri Deak Parujar membentuk bumi yang masih kosong, lalu putri Deak
Parujar meminta kepada ayahnya Mula Jadi Na Bolon agar sudilah mengirimkan
bibit tanaman dan hewan. Ayahnya meluluskan permintaan sang putri
kesayangannya, sambil membuatkan perbedaan antara gelap dan terang. Putri Deak
Parujar menebarkan bibit tanaman dan menebarkan anak-anak hewan hingga
berkembang biak. Bumi yang tadinya kosong sudah berisi dan indah sekali.
Singkat kata, karena kesepian maka putri Deak Parujar meminta agar putra
Mangalabulan, bekas tunangannya turun ke bumi untuk menjadi suaminya.
Permintaan tersebut dipenuhi, sehingga menjadi pasangan suami-isteri pertama di
bumi. Hingga tujuh turunan, tujuh generasi mereka masih disebut manusia langit
dan selama itu juga, putri Deak Parujar menenun kain Ulos. Hingga suatu ketika
Mula Jadi Na Bolon memerintahkan agar putri Deak Parujar kembali ke langit,
yaitu menempati Bulan. Disana, putri Deak Parujar bertenun seperti sediakala.
Sejak saat itu, Deak Parujar terlihat di sana sedang menenun saat bulan
purnama. Bumi tempaannya, yang ditenunnya ibarat kain tenunan (Ulos) dari bahan
kiriman Mula Jadi Na Bolon, diwariskan kepada keturunannya bersama seluruh isi
alam. Begitulah Legenda asal muasal terjadinya Ulos.
III. Sejarah Ulos dan Cara Pembuatan Ulos
Ulos,
bagi masyarakat Batak turun temurun berarti selimut yang menghangatkan tubuh
serta melindungi diri dari terpaan udara dingin. Udara dingin di sekitar Danau
Toba mengharuskan masyarakat Danau Toba mencari sumber yang dapat member panas
kepada manusia, yaitu matahari, api, dan Ulos. Dari ketiga sumber tersebut,
Ulos dianggap paling nyaman dan akrab dengan kehidupan sehari-hari. Nenek
moyang suku Batak adalah manusia-manusia gunung. Hal ini disebabkan kebiasaan
mereka tinggal dan berladang di kawasan pegunungan. Dengan mendiami dataran
tinggi berarti mereka harus siap berperang melawan dinginnya cuaca yang menusuk
tulang. Dari sinilah sejarah Ulos bermula.
Ulos
menjadi pilihan praktis oleh nenek moyang suku Batak untuk melawan rasa dingin,
setelah sinar matahari tidak bisa diandalkan setiap waktu, juga dengan api yang
tidak bisa diperintah dan diatur sebagai tameng melawan hawa dingin. Oleh
karena itu, lahirlah ide untuk menciptakan Ulos
sebagai produk budaya asli suku Batak yang dipertahankan hingga
turun-temurun. Awalnya Ulos tidak langsung menjadi benda yang sakral. Sesuai
dengan hukum alam, Ulos juga telah melalui proses yang cukup panjang dan
memakan waktu yang cukup lama sebelum akhirnya menjadi salah satu symbol adat
suku Batak seperti sekarang.
Berbeda
dengan Ulos yang disakralkan seperti yang kita kenal, dulu Ulos masih dijadikan
sebagai selimut atau alas tidur oleh nenek moyang suku Batak. Tetapi Ulos yang
mereka gunakan kualitasnya jauh lebih baik, lebih tebal, lebih lembut dengan
motif yang sangat artistik. Disamping itu karena praktis bisa dibawa
kemana-mana, maka lambat laun Ulos menjadi kebutuhan primer, dimana bisa
dijadikan bahan pakaian yang indah dengan motif-motif yang menarik.
Fungsi
Ulos menjadi lebih penting ketika ia mulai dipakai oleh tetua-tetua adat dan
para pemimpin kampung (bius) dalam
pertemuan-pertemuan adat resmi. Ditambah lagi dengan kebiasaan para leluhur
suku Batak yang selalu memilih Ulos untuk dijadikan sebagai hadiah atau
pemberian kepada orang-orang yang mereka sayangi. Sekarang, Ulos memiliki
fungsi simbolik untuk berbagai hal dalam segala aspek kehidupan orang Batak.
Ulos menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan adat suku Batak.
Ulos
memiliki ciri khas, yaitu warna benang yang didominasi oleh merah, putih, dan
hitam yang memiliki makna filosofi tersendiri, dimana merah bermakna
keberanian, putih melambangkan kesucian, dan hitam melambangkan kekuatan.
Sehingga pada proses pembuatannya, membutuhkan waktu yang lama, bukan
dikerjakan dengan terburu-buru. Prosesnya terbilang rumit, karena ditenun
dengan menggunakan mesin tenun tradisional yang telah diwariskan secara
turun-temurun.
Pertama
sekali, benang dicuci, lalu direndam ke dalam rendaman kanji. Setelah direndam,
lalu benang yang sudah direndam, dikeringkan, lalu benang direndamkan ke dalam pewarna
yang telah disiapkan, apakah warna merah, putih, dan hitam. Tahap selanjutnya
benang yang telah diwarnai lalu dikeringkan. Lalu benang direndam ke dalam
obat, agar benang tahan lama. Lalu, benang direndam kembali ke dalam pewarna,
lalu benang di jemur sampai kering. Setelah benang kering, lalu digulung
menjadi ‘klosan’. Setelah itu baru benang ditenun dengan Alat Tenun Mesin,
maupun dengan Alat Tenun bukan Mesin alias Alat Tenun Tradisional untuk membuat
Ulos. Dengan tangan yang professional, konsentrasi yang tinggi, kesabaran,
ketelitian, keuletan, kerja keras, dan waktu yang lama untuk menghasilkan Ulos
yang berkualitas tinggi.
IV. Acara Mangulosi dan Jenis-Jenis Ulos Batak
Seperti
fungsinya, kini Ulos biasa dipakai saat upacara Adat Batak, memiliki fungsi
simbolik untuk berbagai hal dalam segala aspek kehidupan orang Batak. Ulos
menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan adat suku Batak.
Mangulosi, adalah salah satu hal yang sangat penting dalam adat Batak.
Mangulosi (memberikan Ulos) bisa dengan diselempangkan, diikatkan di kepala
atau di badan, atau dipakaikan merupakan suatu kegiatan yang maknanya sangat
luas sekali, artinya melambangkan pemberian restu, curahan kasih sayang,
harapan, dan kebaikan-kebaikan lainnya.
Dalam
ritual Mangulosi ada beberapa aturan yang harus dipatuhi, antara lain bahwa
seseorang hanya boleh mangulosi mereka yang menurut tutur (silsilah) keturunan berada di bawah, misalnya orang tua boleh
mangulosi anaknya, tetapi anak tidak boleh mangulosi orang tuanya. Selain itu,
jenis Ulos yang diberikan harus sesuai dengan ketentuan adat. Karena setiap
Ulos memiliki makna tersendiri, kapan digunakan, disampaikan kepada siapa, dan
dalam upacara adat yang bagaimana, sehingga fungsi Ulos tidak bisa saling
ditukar.
Dalam
perkembangannya, Ulos juga diberikan kepada orang “bukan Batak”. Pemberian ini bisa diartikan sebagai penghormatan dan
kasih sayang kepada si penerima Ulos. Misalnya pemberian Ulos kepada Presiden
atau pejabat Negara, selalu diiringi dengan doa dan harapan semoga dalam
menjalankan tugas-tugas ia selalu dalam kehangatan dan penuh kasih sayang
kepada rakyat dan orang-orang yang dipimpinnya.
Beberapa
jenis Ulos yang dikenal dalam Adat Batak dan yang sering digunakan, adalah :
1. ULOS RAGIDUP
Ragi
adalah corak, dan Ragidup berarti adalah lambang kehidupan. Dinamakan demikian
karena warna, lukisan, serta coraknya member kesan seolah-olah Ulos ini
benar-benar hidup. Ulos jenis ini adalah yang tertinggi kelasnya dan sangat
sulit pembuatannya. Ulos Ragidup terdiri atas tiga bagian; dua sisi yang
ditenun sekaligus, dan satu bagian tengah yang ditenun tersendiri dengan sangat
rumit. Ulos Ragidup bisa ditemukan di setiap rumah tangga suku Batak di
daerah-daerah yang masih kental adat Bataknya. Karena dalam upacara adat
perkawinan, Ulos Ragidup diberikan oleh orang tua pengantim perempuan kepada ibu
pengantin laki-laki.
2. ULOS RAGIHOTANG
Hotang,
artinya rotan, Ulos jenis ini juga termasuk berkalas tinggi, namun cara
pembuatannya tidak serumit Ulos Ragidup. Dalam upacara kematian, Ulos
Ragihotang dipakai untuk mengafani jenazah atau untuk membungkus tulang-belulang
dalam upacara penguburan kedua kalinya.
3. ULOS SIBOLANG
Disebut
Sibolang sebab diberikan kepada orang yang berjasa dalam mambolang-bolangi (menghormati) orang tua pengantin
perempuan untuk mangulosi ayah pengantin laki-laki pada upacara pernikahan Adat
Batak. Dalam upacara ini biasanya orang tua pengantin perempuan memberikan Ulos
Hela yang berarti Ulos menantu kepada pengantin laki-laki.
Mangulosi
menantu laki-laki bermakna nasehat agar ia selalu berhati-hati dengan
teman-teman satu marga, dan paham siapa yang harus dihormati; member hormat
kepada semua kerabat pihak isteri dan bersikap lemah-lembut terhadap
keluarganya. Selain itu, Ulos ini juga diberikan kepada wanita yang ditinggal
mati suaminya sebagai tanda penghormatan atas jasanya selama menjadi isteri
almarhum. Pemberian Ulos tersebut biasanya dilakukan pada waktu upacara
berkabung, dengan demikian juga dijadikan tanda bagi wanita tersebut bahwa ia
telah menjadi seorang janda.
4. ULOS MARATUR
Dengan
motif garis-garis yang menggambarkan burung atau banyak bintang tersusun
teratur, motif ini melambangkan harapan agar setelah anak pertama lahir, akan
menyusul kelahiran anak-anaknya sebanyak burung atau bintang yang terlukis
dalam Ulos tersebut.
Dan
masih banyak lagi ulos lain dengan nama :
5. ULOS RAGIDUP SILINGGOM
6. ULOS RAGIDUP SILINDUNG
7. ULOS BINTANG MAROTUR (ULOS MARATUR)
8. ULOS GODANG (ULOS SADUM ANGKOLA)
9. ULOS SITOLU TUHO
10. ULOS BOLEAN
11. ULOS SIBOLANG
12. ULOS MANGIRING
13. ULOS SADUM
14. ULOS SURI-SURI
15. ULOS PINUNCAAN
16. Dan banyak lagi.
Dari
besar-kecilnya biaya pembuatannya, Ulos dapat dibedakan menjadi dua bagian.
Pertama, Ulos Na Metmet; ukuran panjang dan lebarnya jauh lebih kecil
daripada Ulos jenis lain. Tidak digunakan dalam upacara Adat, hanya untuk
dipakai dalam kehidupan sehari-hari. Kedua, Ulos Na Balga; adalah
Ulos kelas atas. Jenis Ulos ini pada umumnya digunakan dalam upacara Adat
sebagai pakaian resmi atau sebagai Ulos yang diserahkan atau diterima.
Biasanya
Ulos dipakai dengan cara dihadanghon; dikenakan di bahu seperti selendang
kebaya, atau diabithon; dikenakan seperti kain sarung, atau juga dengan cara
dililithon; diikatkan di kepala atau di pinggang.
V. Harapan dan
Penutup
Bicara
tentang harga Ulos, maka Ulos yang motif dan proses pembuatan sederhana, maka
harganya juga relatif murah. Ulos kelas ini bisa dibeli dengan harga berkisar
antara Rp. 6.000 sampai dengan Rp. 250.000 bahkan lebih. Sementara untuk Ulos
kelas atas dengan kualitas bahan yang baik dan proses pembuatan yang lebih
rumit, bisa diperoleh dengan harga berkisar antara ratusan ribu rupiah hingga
jutaan. Misalnya songket khas Batak yang digunakan pengantin pria pada upacara
pernikahan adat Batak, dibandrol Rp. 7,5 juta rupiah.
Ulos
adalah karya hasil tenunan terindah yang dimiliki tidak hanya oleh masyarakat
Batak, tetapi juga oleh Indonesia yang seharusnya dilestarikan dan dijadikan
sebagai trend dan khas budaya Indonesia seperti adanya Hari Batik, sebagai
penghargaan untuk kain Batik. Seharusnya kain Ulos bisa dijadikan sebagai
pakaian di Indonesia yang dipakai pada hari tertentu layaknya baju Batik.
Seharusnya Ulos mendapat tempat lebih, seperti adanya Hari Ulos Nasional,
seperti Hari Batik Nasional yang diperingati setiap tanggal 02 Oktober setiap
tahunnya.
Saatnya Ulos ini go
international dan telah diakui oleh UNESCO
sebagai Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Nonbendawi milik Indonesia
Asli sehingga tidak bisa diklaim oleh pihak lain sebagai budayanya. Ulos
juga diharapkan menjadi pakaian resmi yang dipakai di instansi Pemerintahan,
seperti layaknya Batik yang dipakai setiap hari Kamis dan Jum’at. Ulos bisa
dimasukkan menjadi pakaian wajib mendampingi Batik.
Komunitas
Pelestari dan Pecinta Ulos sedang mempersiapkan rangkaian kegiatan dalam rangka
Peringatan Hari Ulos yang kedua, setelah sukses setahun yang lalu. Hari Ulos
kedua akan diselenggarakan tanggal 17 Oktober 2016 ini dan hari Ulos bakal
ditetapkan setiap tanggal 17 Oktober, karena pada tanggal 17 Oktober 2014
adalah tanggal penetapan Ulos sebagai warisan tak benda oleh pemerintah
Indonesia. Bergerak menjadi event
tahunan di Sumatera Utara, hari Ulos akan diakui oleh UNESCO, itulah harapan
kita semua.
Sehingga dengan segala cara, mulai dari penyajian makanan
tradisional Batak, tarian tradisional, pawai pakaian pengantin, pawai Ulos,
motif pakaian Ulos, menampilkan Ulos terpanjang di dunia dengan panjang 500
meter, dan seni pertunjukan mengenai kisah Ulos dalam kehidupan budaya Batak
maka diharapkan Ulos sebagai warisan tak benda oleh Pemerintah benar-benar
dapat direalisasikan dan dihargai dengan ditetapkannya tanggal 17 Oktober
setiap tahunnya menjadi hari Ulos Nasional. Semoga !
#InspirasiIndonesia #IMAJINESIA #TMMINspirasi
Tulisan nya bagus pak..
BalasHapusSaya mau bertanya pak..
Apakah buku" ttg ulos ada sama bapak?