Industri Senjata Tanah Air Harus Tetap Dikembangkan Menuju Pembangunan Industri Pertahanan Nasional Diakui Internasional |
Sejarah Pindad
Sejarah panjang industri Pertahanan Nasional Indonesia diawali pada tahun
1808 dimana Gubernur Jenderal William Herman Daendels mendirikan bengkel senjata
bernama Contructie Winkel (CW) di
Surabaya dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan Pemerintah Kolonial Belanda
akan pemeliharaan dan perbaikan sarana peralatan perang yang digunakan di wilayah
jajahan Belanda.
Namun sejarah mencatat bahwa industri Pertahanan pada masa itu akhirnya
diarahkan juga untuk menghasilkan produk-produk alat peralatan pertahanan dan
peralatan pendukungnya, meliputi kendaraan tempur darat, kapal perang, pesawat,
senjata, peluru dan amunisi.
Usai Perang Dunia II dan hasil Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag,
Belanda menyatakan bahwa Indonesia negara merdeka dan berdaulat, maka tahap
demi tahap Belanda menyerahkan semua aset-asetnya kepada pemerintahan Indonesia
dibawah pimpinan Presiden pertama Ir. Soekarno, termasuk pabrik senjata Leger Produktie Bedrijven (LPB) dan Central Reparatie Werkplaats.
LPB diganti nama menjadi Pabrik Senjata dan Mesiu (PSM), dikelola oleh
TNI-AD dan berhasil memproduksi laras senjata berkaliber 9mm. Pada bulan
Nopember 1950 berhasil membuat laras dengan kaliber 7,7mm. Delapan tahun
kemudian, PSM berubah nama menjadi Pabrik Alat Peralatan Angkatan Darat (Pabal
AD) pada tanggal 1 Desember 1958. Pabal AD banyak mengirimkan pemuda Indonesia yang
potensial ke luar negeri untuk belajar persenjataan dan balistik demi
mengurangi ketergantungan peralatan militer pada negara lain.
Tahun 1962, Pabal AD kembali berubah nama menjadi Perindustrian TNI
Angkatan Darat (Pindad) dengan tahapan pengembangan fokus pada tujuan pembinaan
yang disesuaikan dengan prinsip-prinsip pengelolaan terpadu dan kemajuan
teknologi mutakhir. Bermodalkan Surat Keputusan dari Angkatan Bersenjata untuk
memakai senjata buatan Pindad, maka senjata pun mulai diproduksi secara massal.
Mengalami pasang surut dan akibat krisis moneter 1987 membuat
industri-industri Persenjataan Nasional rontok, sehingga terpaksa melakukan
diversifikasi usaha lebih mengarah pada produksi peralatan-peralatan sipil agar
bisa tetap eksis dalam menjaga NKRI ditengah-tengah hantaman krisis nasional
maupun global.
Baru ketika SBY berkuasa, pelan-pelan Industri Pertahanan Nasional
kembali dikembangkan dalam upaya mengurangi ketergantungan Indonesia akan Alat
Peralatan Pertahanan Kemanan (Alpalhankam) buatan luar negeri.
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan membuka
kran akselerator bagi pemberdayaan dan pertumbuhan industri-industri pertahanan
yang maju, kuat, mandiri dan berdaya saing sesuai dengan yang dipersyaratkan
oleh TNI, Polri dan Kementerian/Lembaga lainnya.
Tidak dapat dipungkiri faktor kejayaan sebuah negara pastinya ditentukan
keadaan keamanan dan pertahanan negara tersebut. Negara kuat pasti dilihat dari
kekuatan militernya plus Alutsista yang dimilikinya.
Alat utama sistem pertahanan merupakan kekuatan militer yang harus
diperkuat demi mewujudkan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang benar-benar
berdaulat baik itu di darat, udara maupun di laut.
Sejarah membuktikan ketika kita punya patih sekelas Gajah Mada era
keemasan pemerintahan Hayam Wuruk yang memerintah di Kerajaan Majapahit.
Peralatan Canggih dan dapat bersaing dengan Dunia Internasional adalah dambaan Negara Berdaulat di Darat, Laut dan Udara |
Alasan Maksimalkan
Potensi Industri Pertahanan Jaga NKRI
Diceritakan dekade 1350 – 1389, daerah pemerintahan Majapahit meluas
hingga ke Sumatera, semenanjung Malaya, Kalimantan, Sulawesi, kepulauan Nusa
Tenggara, Maluku, Papua, Tumasik (Singapura) dan sebahagian kepulauan Filipina.
Total 98 kerajaan waktu itu ada ditangan Majapahit.
Dibawah kendali Mahapatih Gajah Mada, diceritakan bahwa Majapahit menjadi
negara ekspansionis dengan kekuatan militernya. Bala tentara dengan pasukan
plus bernama Bhayangkara menjadi pasukan terdepan dalam membela rakyatnya,
Majapahit menjadi kerajaan paling ditakuti musuh.
Sebagai kerajaan maritim, menyiapkan kapal-kapal perang di sekitar perbatasan
dan di lima gugus, yaitu di sebelah barat Sumatera, sebelah selatan Jawa,
perairan Sulawesi, Kepulauan Natuna, dan Laut Jawa merupakan sebuah keharusan.
Dari dulu hingga sekarang, menjaga Kepulauan Natuna memang sudah menjadi
pekerjaan super berat, betapa tidak? Banyak perompak berpangkal di Vietnam dan
Tiongkok yang ingin menguasai kekayaan alam di Natuna.
Konon ceritanya, Majapahit menciptakan meriam bernama Cetbang, melengkapi
persenjataan dan armada kuat untuk berjaga di Laut Jawa dan Natuna, sehingga
musuh berpikir dua kali untuk menyerang Majapahit. Mahapatih Gajah Mada kala
itu sukses menciptakan pasukan menakutkan plus persenjataan modern untuk
menjaga Nusantara.
Belum lagi strategi perang, baik itu operasi intelijen, penyerangan,
maupun pertahanan menjadikan negara kita harus kembali belajar dalam hal
membangun pertahanan dan keamanan yang kuat disegani dunia.
Kini situasinya juga tidak jauh beda, kita dihadapkan pada pilihan harus
memaksimalkan segala potensi industri nasional agar dapat khususnya menjaga
keutuhan NKRI dari gangguan maupun rongrongan yang datangnya baik dari dalam, maupun
dari negara asing yang ingin mengeruk kekayaan alam kita di pulau-pulau dan
perairan-perairan yang strategis, disamping itu tentunya untuk menunjukkan eksistensi
negara kita dalam hal pengadaan Alutsista dan Almatsus Polri untuk pemberdayaan
industri pertahanan.
Seluruh potensi dan sumber kekayaan alam Indonesia harus dioptimalkan
dalam mendukung Industri Pertahanan Indonesia. Dilansir dari web Komite KebijakanIndustri Pertahanan bahwa Indonesia memiliki industri pertahanan yang lengkap
dan tangguh dari hulu hingga ke hilir.
Industri dasar seperti karet dan baja, industri komponen, hingga industri
hilir meliputi wahana darat, laut, udara, senjata berteknologi tinggi, amunisi,
hingga elektronika dan kontrol telah diproduksi oleh Pindad yang bergerak di
bidang manufaktur Alutsista tanah air.
Peralatan Pertahanan dan Keamanan kita sudah diakui oleh Dunia Internasional dan Kita harus terus memproduksi Hasil Inovasi Indonesia |
Persenjataan
Canggih Ciptaan Indonesia Bersaing Dengan Dunia Luar
Drone CH4 beraksi menunjukkan kemampuan terbangnya di radius of action 1.500 – 2000 kilometer
di hadapan Presiden Jokowi yang menghadiri HUT TNI di Taxx Way Echo Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, Sabtu, 5
Oktober 2019.
Pesawat nirawak (drone) merupakan hasil dari pengadaan rencana strategis
kedua yang akan diproduksi berjumlah enam unit. Pesawat nirawak ini berjenis Medium Altitude Long Endurance (MALE),
yang bisa terbang dengan lama durasi hingga 12 jam dan menjangkau 1.000
kilometer.
"Kemampuan
itu bisa digunakan dengan dukungan satelit atau sistem BLOS (beyond line of sight). Tapi kalau hanya
menggunakan NLOS (non line of sight)
itu bisa dari Surabaya sampai ke tempat latihan ini di Situbondo," kata kata Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto.
Kolaborasi drone dan wahana pencegat dan
pendarat – Titah Hitam sangat diharapkan dapat menjaga kedaulatan NKRI dari
usaha-usaha kapal-kapal asing seperti yang terjadi di Pulau Natuna.
Harusnya persenjataan canggih,
kolaborasi Wahana Laut seperti: Seahunter 46 Mark II, Fast Patrol Boat 42m,
Shuter 46 Mark I dapat beroperasi dengan baik seperti armada pimpinan Mpu Nala
yang mampu menjaga Nusantara dengan kapal perangnya.
Sementara wahana darat dan udara
tidak perlu lagi diragukan keberadaannya dalam bersaing dengan produk senjata
asing plus menjaga kedaulatan negara kita. Sehingga dengan adanya Alutsista
yang canggih plus keberadaan TNI Angkatan Darat, Laut dan Udara harusnya negara
kita sangat berdaulat dan diakui keberadaannya oleh dunia luar.