Ketika Bung Karno di Pengasingan di Pulau Ende, Kalimutu menjadi inspirasi Beliau untuk membuat Tonil yang didukung oleh Pater Huytink. Dokpri |
Kisah perjalanan panjang Bung Karno dalam upaya memerdekakan Indonesia sangatlah panjang dan penuh lika-liku perjuangan. Beliau harus rela ditangkap dan diasingkan ke beberapa pulau dan tempat dengan penuh penderitaan dan kisah mengharukan.
Bung Karno yang kelak akan menjadi Presiden Pertama di Republik Indonesia setelah berhasil membacakan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, mengawali perjuangannya dengan penuh kesengsaraan dan penderitaan, Bung Karno berungkali ditangkap Belanda dan diasingkan ke beberapa tempat di Indonesia, diantaranya ke Pulau Ende.
Seperti diceritakan dalam film berjudul “Soekarno, Ketika Bung di Ende”, kita kembali disuguhkan akan cerita pahitnya penderitaan yang harus dialami oleh Bung Karno dan keluarganya yang diasingkan ke Pulau Ende setelah ditangkap dan dianggap orang paling berbahaya oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda.
Ya, Bung Karno adalah seorang pejuang sejati yang bergerak lewat politik dan mengobarkan semangat patriotisme para pejuang di medan perang lewat pidato-pidato dan tulisan-tulisan tajamnya atas kekejaman penjajah Belanda. Bung Karno yang dijuluki Si Singa Podium ini tidak tahan lagi melihat penderitaan Rakyat Indonesia yang diperbudak oleh penjajah Belanda. Tekad kuat menjadikan Indonesia Merdeka, tidak menyurutkan semangat Bung Karno walau sudah keluar masuk penjara oleh Pemerintah Hindia Belanda.
Bung Karno berhasil mengumpulkan kaum tak terdidik untuk bermain Tonil yang menggugah semangat masyarakat Ende dalam Upaya Memerdekakan Indonesia. Dokpri |
Keberanian Bung Karno bergabung di Partai Indonesia (Partindo) yang tujuan pokoknya mencapai Indonesia Merdeka dan menjalankan politik nonkooperasi terhadap pemerintah Belanda, menyebabkan Bung Karno ditangkap lagi dan diasingkan ke Pulau Ende, Flores.
Sungguh sangat menderita ketika Bung Karno yang diperankan dengan baik oleh Baim Wong, bersama isteri keduanya, Inggit Garnasih diperankan oleh Paramita Rusady, Ibu Asmi, Mertua Bung Karno, diperankan oleh Niniek L Karim, serta Ratna Djuani dan Kartika (anak angkat) mendiami rumah pemberian bapak Abdullah Amburawu di Kampung Ambugaga selama menjalani hukuman pengasingan.
Engkus, sapaan sayang Inggit harus menerima kenyataan pahit, namun beliau dan keluarga tidak patah semangat, memulai hidup baru dipengasingan tidaklah mudah, tetapi harus dicoba dan pelan tapi pasti, walau setiap pergerakannya diawasi Polisi Belanda, kehadiran Engkus mulai diterima masyarakat Ende. Saling menyemangati dan tidak putus asa menjadi kunci kebangkitan Bung Karno dari keterpurukan.
Film yang disutradarai Viva Westi ini secara gamblang menceritakan kisah hidup Bung Karno di pengasingan. Kisah hidup selama empat tahun di Ende benar-benar dikisahkan, Baim Wong mampu menerjemahkan dengan baik bagaimana kisah Ir. Soekarno yang naskahnya ditulis oleh Tubagus Deddy. Semua pemeran mampu memainkan perannya dengan baik.
Budaya tali silaturahmi dan persaudaraan dikembangkan oleh Bung Karno dengan mengadakan kegiatan pengajian di rumahnya. Walau setiap saat dalam pengawasan polisi, Engkus tidak takut untuk melakukan pengajian rutin. Saat pengajian inilah Engkus menjalin komunikasi rutin, mengenal watak masyarakat sekitarnya. Budaya inilah yang seharusnya kita jaga sampai sekarang.
Dalam film ini kita juga bisa melihat bagaimana tindakan-tindakan keji kolonialisme yang memonopoli perdagangan. Semua hasil bumi para petani harus dijual kepada Belanda, apabila ketahuan dijual ke kapal asing? Maka para petani akan mendapatkan hukuman berat.
Keindahan Pulau Ende juga menjadi bagian tidak terpisahkan dari film ini. Engkus yang tiada henti-hentinya bergerak dan berpikir, terus menjalin komunikasi dan pertemanan dengan semua kalangan, dari pedagang, pelaut, nelayan, petani, hingga berdiskusi banyak dengan para Pastor, khususnya Pastor Geraldus Huytink.
Engkus yang seorang intelektual, rajin menambah Ilmu Pengetahuannya dengan membaca buku-buku pengetahuan di perpustakaan Kepastoran Flores cabang Ende, serta banyak berdiskusi dengan Pastor Huytink yang ternyata mengikuti sepak terjang Bung Karno dalam memperjuangkan kemerdekaan Bangsa Indonesia, bahkan Pasto Huytink pernah meramalkan Bung Karno kelak menjadi Presiden setelah Indonesia Merdeka.
Daun Sukun, Sumber Inspirasi Bung Karno dalam meletakkan Lima Sila Sebagai Dasar Negara Indonesia, kelak setelah Merdeka. Dokpri |
Keindahan pantai Ende, deburan ombak dan kerukunan antar umat beragama yang berbeda, menjadi inspirasi Bung Karno selama di pengasingan. Kerukunan diantara perbedaan dan persamaan sebagai bangsa yang dijajah, menjadi pelajaran bagi Engkus untuk merumuskan Persatuan dan Kesatuan.
Engkus mengajak semua teman-temannya bermain Tonil alias Sandiwara berjudul Rahasia Kelimoetoe. Adalah Pastor Huytink kembali memberikan izin agar mereka berlatih di Pastoran agar tidak diawasi oleh Polisi Belanda.
Engkus tiada henti-hentinya memompa semangat para pemain Tonil agar tidak takut bersuara dan menyuarakan gaung Kemerdekaan, sehingga latihan untuk pementasan drama Rahasia Kelimoetoe dapat terwujud walau ada rasa takut terhadap tekanan Belanda. Dukungan Pastor Huytink menjadi bukti pementasan drama tersebut dapat terwujud.
Bung Karno berhasil menyatukan kaum tak terdidik yang berbeda suku dan agamanya dalam pementasan Tonil yang membawa pesan-pesan agar masyarakat di Ende bangkit dari rasa takut akan hal-hal mistis dan tahayul yang ada di Danau Tiga Warna Kelimoetoe.
Selama empat tahun Bung Karno berada di Ende, Bung Karno terus menggali dan mempelajari bagaimana Indonesia Merdeka dan bagaimana Indonesia setelah Merdeka. Disuatu waktu, ketika Bung Karno dan Pater Huytink berada di Kalimutu, terjadi diskusi serius tentang Kebangsaan Indonesia.
Bung Karno dengan tegas berjanji tentang Kebebasan, “Kemerdekaan Indonesia akan memberikan jaminan Kebebasan Beragama bagi warga negaranya yang sesuai dengan keyakinan masing-masing.”
Ketika itu jugalah Pater Huytink berkata, “Tuan Soekarno, ketika datang sekali lagi ke Ende, Tuan akan datang sebagai Presiden Indonesia.” Dan ramalan itu menjadi kenyataan.
Setelah berhasil menggali nilai-nilai yang kelak akan menjadi buah pikiran menjadi Dasar-Dasar Falsafah Negara, ditambah lagi kondisi kesehatan yang memburuk, akhirnya, Bung Karno dan keluarga dipindahkan ke Bengkulu setelah empat tahun menjalani pengasingan di Ende.
Film ini diproduksi tahun 2013 dan sepenuhnya dibiayai dan difasilitasi oleh Direktorat Pembinaan Kesenian dan Perfilman dan bekerjasama dengan PT. Cahaya Kristal Media Utama yang pembuatan filmnya di Pulau Ende dan didesain pas seperti era tahun 1934 sampai 1938, sehingga diharapkan para penonton bisa merasakan bagaimana pahit getirnya perjuangan Bung Karno dan masyarakat sekitar Ende dalam proses menyatukan Bangsa ini.
Film ini sangat cocok diperkenalkan bagi generasi muda bangsa ini agar tetap menghargai perjuangan para pendahulu kita. Rasa nasionalisme dan toleransi harus tetap diserukan pada kaum muda agar kita sadar betapa Persatuan dan Kesatuan tanpa memandang perbedaan warna kulit, budaya dan agama adalah hal utama dalam menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Semoga film ini menginspirasi kita semua...Merdeka...!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar